Friday, February 26, 2010

manfaat belajar sosiologi

Tidak sedikit mahasiswa baru sosiologi, bahkan yang lama sekalipun bertanya-tanya tentang apa guna ilmu yang dipelajarinya? Apa hubungan sosiologi dengan kehidupan nyata, alias dunia profesi yang akan dihadapinya. Tulisan ini dibuat untuk meningkatkan motivasi pribadi dan sekaligus nilai-nilai sosial pendukung setiap maha-siswa sosiologi dalam mempelajari ilmunya. Bahwa ternyata cukup banyak hal yang bisa dilakukan setelah mempelajari sosiologi, tentu dengan usaha serius.

Asal Mula ‘Sosiologi’

Sudah banyak tokoh yang mencoba mengamati manusia dan masyarakat. Mulai Konfusius (551-479 SM) di Cina; Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) di Yunani; Ibn Kaldun (1332-1406) di Arab; bahkan sastrawan ternama dari Inggris William Shakespeare (1564-1616) pun telah membuat refleksi tentang kehidupan manusia pada jamannya masing-masing. Namun, tokoh-tokoh tersebut masih lebih tertarik untuk membayangkan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang seharusnya, tanpa melihat masyarakat sebagai apa adanya. Suatu pendekatan yang positivis memang, namun itu adalah lajur yang mungkin harus ditempuh untuk mencapai pada tahap-tahap selanjutnya.

Barulah pada tahun 1838 seorang pe-mikir Perancis Auguste Comte (1798-1853) mematenkan istilah ‘sosiologi’ sebagai cara baru melihat dunia, khususnya masyarakat yang menghidupi dunia itu. Comte menawarkan sebuah cara pandang melihat masyarakat sebagai apa adanya (yang kemudian terkenal dengan aliran positivism). Positivism berusaha menjelaskan sesuatu objek dari apa yang tampak. Positivism, dalam perkembangannya, mendapat kritik tajam dari pemikir. Kemudian muncul aliran baru bernama post-positivism, yang menjelaskan obyek dari hal-hal yang tak tampak. Pertanyaannya dasarnya, “Ada apa di balik peristiwa itu?”

Dari sini kita bisa melihat sosiologi bukanlah ilmu yang statis dan kaku (sak-klek), melainkan selalu dinamis dan bergerak menyesuaikan dengan konteks tempatnya hidup. Bagi sosiolog, permasalahan teknis yang dihadapi bukanlah menentukan aliran mana yang paling tepat untuk digunakan (positivism atau post-positivism), melainkan bagaimana memadukan aliran-aliran yang ada tersebut untuk mendapatkan pemahaman lebih menyeluruh tentang masyarakat.

Perkembangan Sosiologi

Sosiologi terus berkembang pesat sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi sangat cepat sejak abad ke-17 sampai sekarang. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi variabel penyebab percepatan itu, yaitu:

(1) Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Sampai 1990, bumi ini telah dihuni lebih dari 5,5 milyar manusia. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, sudah lebih dari 200 juta penduduk. Semakin banyak manusia makin kompleks pula interaksi dan masalah sosial yang bakal terjadi. Di sinilah sosiolog dituntut untuk tidak pernah ‘lelah’ untuk terus mengikuti perubahan sosial dan menjelaskannya;

(2) Inovasi teknologi yang terus berganti. Mulai dari terjadinya Revolusi Industri (yaitu penggunaan teknologi dalam industri) mengakibatkan manusia yang bertambah banyak itu kehilangan pekerjaan, masalah sosial baru bermunculan pesat. Hubungan manusia dan teknologi merupakan kajian menarik yang bisa digali lebih dalam, karena pada per-kembangan dan pembuatan teknologi (termasuk di dalamnya adalah budaya atau ‘aturan main’ yang menentukan perilaku) telah menjadi ‘tujuan’ tindakan manusia, bukan sebagai ‘sarana’ untuk mencapai tujuan hidup (Habermas, 1990). Apalagi kini perkembangan teknologi informasi telah mengubah secara drastis pola-pola interaksi sosial antar-manusia, dari face to face menuju via mass media. Model interaksi baru semacam ini telah menggeser hampir keseluruhan pandangan sosiologis ten-tang bagaimana manusia melakukan ‘kontak’ dan ‘komunikasi’, berinteraksi kata sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto. Padahal, dalam pertemuan face to face terkadang masih dibutuhkan dalam interaksi (dan terkadang model inilah yang paling menentukan);

(3) Perubahan suhu politik ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, mengikuti Karl Marx (1818-1883), mempunyai kekuatan untuk mengubah masyarakat. Asumsi Marx ini dikembangkan Michel Foucault yang melihat lahirnya pengetahuan tidak bisa terlepas dari variabel yang bernama kekuasaan. Katanya, ketika ada kekuasaanlah pengetahuan bisa ada. Idealnya, kembali pada Marx, ilmu tidak hanya digunakan untuk menjelaskan realitas sosial yang terjadi, namun yang lebih penting adalah berusaha meniadakan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pertanyaannya, apa guna ilmu pengetahuan terus berkembang (dan dikembangkan) jika ketidakadilan sosial tetap eksis, bahkan semakin besar? Semangat mewujudkan keadilan sosial itulah yang melatarbelakangi meletusnya berbagai macam gerakan sosial. Kata ‘kemerdekaan’ (liberty) menjadi kata yang sakral untuk diperjuangkan, bahkan hingga kini dalam wacana hak asasi manusia (HAM).

Atas dasar tiga variabel itulah, sosiologi seperti mendapatkan angin segar untuk terus menjamur dan berkembang pesat. Sayangnya, sistem persekolahan (pendidikan formal) di Indonesia, dan negara-negara lain pada umumnya, lebih berorientasi pada kepentingan dunia industri daripada masyarakat yang ditinggalinya. Kebanyakan ilmu yang dipelajari perguruan tinggi (termasuk sosiologi) telah ‘tercerabut’ dari akarnya, sehingga ilmu yang dipelajari tidak bisa digunakan dan berguna bagi mayoritas penduduk. Contoh, di Pulau Jawa lebih dari dua pertiga penduduknya adalah petani (dan nelayan) yang menggantungkan hidupnya pada alam (tanah dan laut), namun tidak banyak perguruan tinggi di Pulau Jawa (baik negeri ataupun swasta) yang menawarkan program-program studi yang berhubungan langsung dengan masalah pengembangan pertanian, misalnya. Kalau ada, peminatnya pun tidak banyak (dan biasanya gengsinya rendah). Ironisnya, jurusan-jurusan ini semakin hari semakin menyusut keberadaannya.

Ini hanyalah sebuah contoh ketidakadilan yang dibentuk secara struktural, yang kemudian berdampak pada kesadaran kolektif masyarakat. Kondisi semacam ini hanya semakin memperkokoh citra perguruan tinggi sebagai ‘menara gading’.

Paradigma-Paradigma Sosiologi

Teori-teori sosiologi semakin hari tambah banyak dan semakin variatif. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan teori sudah dibangun oleh para sosiolog di seluruh belahan dunia ini. Dari teori-teori sosiologi yang muncul itu, pada dasarnya, dibangun berdasarkan tiga paradigma teoritik, yaitu:

(1) Paradigma struktural-fungsional, merupakan paradigma yang paling berpengaruh dalam perkembangan sosiologi. Paradigma ini berasumsi masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks di mana setiap bagian dalam masyarakat saling bekerjasama untuk menjaga stabilitas. Ada dua kata kunci, yaitu ‘struktur’ dan ‘fungsi’. Struktur sosial adalah pola-pola sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu yang lama. Fungsi sosial adalah konsekuensi yang dilakukan untuk menjaga kestabilan. Ada dua macam fungsi, yaitu fungsi manifes (atau fungsi yang disadari) dan fungsi laten (atau fungsi yang tidak disadari). Sedangkan jika struktur tidak berhasil mewujudkan kestabilan, maka disebut disfungsi sosial.

Contoh kasus, pendidikan mempunyai fungsi manifes mengajarkan keterampilan pada generasi yang lebih muda, agar siap menggantikan generasi yang lebih tua (fungsi produksi tenaga kerja). Fungsi laten pendidikan adalah melakukan internalisasi nilai-nilai dari generasi tua. Lewat pendidikan, diajarkan tata krama (manner) dalam masyarakat (fungsi sosialisasi). Seiring dengan usaha institusionalisasi pendidikan men-jadi sekolah formal, ditambah dengan meningkatnya kesibukan orangtua dengan pekerjaannya, akibatnya orang-tua pun pasrah bongkokan pada sekolah untuk urusan pendidikan anak-anaknya. Pendidikan dianggap semata tugas sekolah, dengan mengesampingkan peran institusi yang lain dalam melakukan fungsi pendidikan.

(2) Paradigma konflik-sosial. Masih dalam analisis makro, paradigma ini mencoba ‘membuka mata’ para penganut paradigma struktural-fungsional tentang kestabilan yang terjadi dalam masyarakat. Paradigma ini mengasumsikan masyarakat adalah sistem yang kompleks, ditandai oleh terjadinya ketidakadilan sosial dan konflik yang menggerakkan masyarakat itu. Paradigma ini kuat dipengaruhi pemikiran Marx yang melihat masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial yang lebih bersifat stratifikasi (bertingkat) ketimbang diferensial (sejajar).

Contoh kasus, sistem pendidikan formal (persekolahan), seperti dikatakan Randall Collins (dalam Wilonoyudho, 2005) adalah awal dari proses stratifikasi sosial. Akibat masuknya pengaruh kekuatan ekonomi, menyebabkan pendidikan yang baik dan bagus hanya bisa didapatkan oleh siapa yang bisa ‘membelinya’. Beragam fasilitas pendukung sekolah, seperti: buku dan majalah, televisi dan radio, internet, dan kursus-kursus di luar sekolah juga hanya bisa diikuti oleh kelas ekonomi mapan. Bagi yang tidak memiliki kekuatan ekonomi akan semakin tertinggal. Jadi, mobilitas sosial vertikal melalui pendidikan tinggal menjadi kenangan dan impian semata.

(3) Paradigma interaksi-simbolik. Tidak seperti dua paradigma sebelumnya, paradigma ini melihat masyarakat dari level mikro. Masyarakat diasumsikan sebagai produk interaksi sehari-hari antar-manusia. Ada dua konsep kunci dalam interaksi sosial, yaitu status sosial (posisi sosial seseorang dalam masyarakat) dan peran sosial (tugas-tugas yang harus dilakoni seseorang akibat posisi sosial yang melekat dalam dirinya).

Dalam praktiknya, status sosial tidak sakklek, melainkan selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu tempat se-seorang itu hidup. Perubahan status itu berdampak pada perubahan peran sosial seseorang secara mendadak pula. Kondisi ini potensial menyebabkan konflik peran (ketidaksesuaian peran sosial dalam dua atau lebih status sosial yang sedang terjadi secara bersamaan), yang menjadi akar permasalahan sosial secara makro.

Contoh kasus, keberhasilan pendidikan formal tidak melulu ditentukan oleh struktur, (baca: sistem pendidikan), melainkan lebih ditentukan oleh interaksi sehari-hari yang terjadi di sekolah itu. Bukan jaminan, sekolah favorit serta-merta akan menghasilkan murid yang berkualitas pula. Yang juga penting adalah, misalnya, bagaimana cara mengajar seorang guru di dalam kelas; apakah seorang guru mau membimbing murid-muridnya di luar kelas; apakah si murid aktif dalam diskusi (di dalam ataupun di luar kelas); apakah murid juga aktif mencari informasi lain tentang suatu matapelajaran selain dari buku dan guru yang ada; apakah murid juga melatih keterampilan-keterampilan lain.

Singkat kata, keberhasilan pendidikan terkadang lebih ditentukan kreativitas dari masing-masing aktor dalam masyarakat. Kebiasaan yang dilakukan. Komunitas yang digelutinya. Aktivitas yang ditekuni seseorang. Karenanya, ‘sukses’ melalui pendidikan menjadi sangat relatif, ukurannya tidak hanya sebatas dilihat dari nilai yang bagus.

Meskipun kelihatannya saling bertentangan, namun tidak ada yang paling benar diantara ketiga paradigma itu. Yang ada hanya saling melengkapi. Sosiolog profesional adalah yang berhasil memadukan ketiga paradigma tersebut untuk menjelas-kan fenomena untuk mendapatkan penjelasan yang lebih menyeluruh.

Berpikir Sosiologis

Hal tersulit dalam mempelajari sosiologi bukanlah menghafalkan, memahami ataupun menerapkan teori-teori atau paradigma sosiologi yang ada, melainkan bagaimana berpikir sosiologis ketika bertemu pada suatu masalah, apapun itu. Macionis (1997) menawarkan tiga kerangka berpikir sosiologis, yaitu:

(1) Melihat keseluruhan melalui sebagian. Berpikir sosiologis ibarat seorang ilmuwan mikrobiologi yang mengguna-kan mikroskop dalam melihat DNA untuk mengetahui asal-usul seorang manusia. Jadi, sosiolog tidak perlu melihat keseluruhan. Karena tidak mungkin kita akan meneliti semua anggota masyarakat. Dalam metodologi cara berpikir macam ini diturunkan menjadi teknik sampling. Cara melihat semacam ini jarang dilakukan oleh disiplin lain. Antropologi, misalnya, hanya melihat pada ‘sebagian’ itu secara mendalam. Psikologi pun cenderung melakukan hal serupa. Sosiologi berusaha melakukan generalisasi, inilah ciri khas sosiologi, sekaligus kelemahannya;

(2) Melihat keanehan-keanehan dalam kejadian sehari-hari. Seorang sosiolog akan melihat kejadian yang dianggap biasa oleh orang kebanyakan sebagai hal yang aneh. Bagi awam, cara berpikir ini bisa dikatakan sebagai tindakan iseng atau kurang kerjaan, namun bagi sosiolog pemula cara inilah yang sering digunakan. Tugas sosiolog, kemudian, adalah menggali lebih dalam tentang apa penyebab masalah sosial tersebut. Sosiolog berusaha mencari rasionalitas manusia yang melakukan tindakan;

(3) Melihat individu dalam konteks sosialnya. Sosiolog percaya bahwa setiap tindakan manusia dibentuk oleh lingkungan yang melingkupi manusia itu. Contoh, Emile Durkheim yang meneliti tentang fenomena bunuh diri. Lalu, apa yang dilakukannya? Jelas tidak mungkin mengorek informasi dengan cara melakukan wawancara terhadap orang yang sudah meninggal. Beruntunglah data statistik pada kantor kepolisian waktu itu cukup baik. Dari data itulah, ditambah dengan wawancara terhadap beberapa keluarga korban, Durkheim pun membangun salah satu teori sosiologi yang tetap relevan sampai sekarang tentang Solidaritas Sosial.

Yang paling membedakan sosiologi dengan disiplin ilmu sosial lain adalah kriteria berpikir sosiologis yang ketiga, melihat individu dalam konteks sosialnya. Pada dasarnya, segala tindakan manusia tidaklah murni muncul dari dirinya sendiri tetapi dikonstruksikan secara sosial (socially constructed). Contoh, motivasi setiap sepasang lelaki dan perempuan memutuskan untuk menikah tidak hanya ditentukan oleh alasan cinta semata, melainkan lebih ditentu-kan oleh faktor sosial, yaitu desakan dari orangtua atau tuntutan dari masyarakat sekitarnya (untuk kasus ‘kumpul kebo’ atau ‘perawan tua’). Bahkan, kesadaran pasangan suami-istri untuk punya anak pun tidak murni motif pribadi dari pasangan itu, akan tetapi telah terkonstruksi secara sosial. ‘Hubungan seks’ yang menurut anggapan banyak orang sebagai urusan privat masing-masing manusia dan dilandasi oleh insting individu ternyata tidak lepas dari konstruksi masyarakat. Lalu, bagaimana dengan tindakan sosial yang lain?

Modal-modal ‘Pertempuran Sosial’

Untuk bisa tetap survive dalam medan (field) pertempuran sosial) seseorang perlu memiliki modal yang kuat. Pembicaraan tentang modal (capital) dalam sosiologi terus berkembang sejak Marx hanya mengartikan-nya sebatas sebagai kepemilikan atas alat-alat produksi. Konsep modal paling mutakhir ditawarkan Pierre Bordieu (1930-2002). Bourdieu menyebutkan empat modal yang membuat manusia bisa bertahan hidup dalam medan sosial, yaitu (lihat Coriggan, 1997 dan Haryatmoko, 2002):

(1) Modal ekonomi, kepemilikan atas alat-alat produksi;

(2) Modal sosial, kepemilikan atas jaringan atau relasi pertemanan;

(3) Modal budaya, kepemilikan atas pengetahuan dan manner tertentu;

(4) Modal simbolik, hal-hal yang meng-utamakan kekuasaan simbolis untuk melegitimasi sesuatu hal.

Jelas, sosiologi tidak bisa menyediakan modal ekonomi, modal sosial, dan bahkan mungkin modal simbolik. Modal simbolik diberikan oleh pihak perguruan tinggi dalam bentuk gelar, Sarjana Sosial. Sosiologi hanya menawarkan sebagian modal budaya, yaitu melatih untuk berpikir sosiologis terhadap sebuah masalah. Itu pun kalau mahasiswa sosiolog mau berlatih untuk menggunakan-nya. Idealnya, profesi sosiolog adalah peneliti. Akan tetapi, struktur di Indonesia tidak terlalu mendukung kesejahteraan bagi pelaku di dunia penelitian. Akibatnya, sangat sedikit yang bertahan di bidang ini. Kemudian, banyak sarjana sosiologi yang misorientasi, mengalami krisis, bahkan frustasi.

Oleh karena itu, seorang mahasiswa sosiologi perlulah memperbanyak modal yang dimilikinya itu, khususnya modal sosial dan modal budaya. Modal sosial, seperti: perbanyak pertemanan (jangan hanya teman dari jurusan sosiologi saja, tapi juga dari disiplin lain), baik-baiklah dengan orang lain (kenalkan diri Anda), terlibat dalam organisasi (sebanyak mungkin), atau aktif mengikuti forum-forum diskusi yang ada. Modal budaya, seperti: kemampuan bahasa asing (Inggris, Jerman, Latin, Mandarin, Jepang dan lainnya), kebiasaan membaca dan menulis ilmiah maupun populer, penguasaan teknologi (komputer, internet, dan ponsel), kemauan untuk terus belajar, dan biasakan untuk selalu berpikir sosiologis ketika melihat masalah. Suatu saat, menurut Bourdieu, kedua modal tersebut akan lebih membantu seseorang bertahan hidup (survive) dibandingkan modal ekonomi dalam medan pertarungan sosial (field).

Jadi, apa pun profesi yang akan digeluti, jadikan kebiasaan berpikir sosiologis sebagai landasan mengembangkan profesi karena hanya itulah yang bisa diperoleh seseorang yang belajar sosiologi.

No comments:

Post a Comment