Friday, February 25, 2011

Hak Paten

Apple Kesenggol Kasus Hak Paten
Wicaksono Hidayat - detikInet

Jakarta, Apple Computer diklaim telah melakukan pelanggaran hak paten untuk teknologi yang diterapkannya pada iTunes. Apple diminta membayar 12% dari total penjualan iTunes dan iPod.

Adalah Pat-rights, perusahaan asal Hong Kong yang menuduh Apple telah melanggar hak patennya atas teknologi. Internet User Identity Verification yang diimplementasikan pada toko musik online milik Apple, iTunes.

Teknologi ini dipakai untuk memverifikasi seorang konsumen sebelum dinyatakan berhak men-download file lagu dari iTunes. Sebelum membeli lagu, konsumen harus melewati proses verifikasi, dimana mereka harus memasukkan nomor identifikasi khusus yang disiapkan Apple beserta password.

Meski Apple menolak berkomentar, Joseph J. Zito, pengacara masalah paten yang mewakili Pat-rights mengatakan, Apple telah bernegosiasi dengan Pat-rights mengenai masalah ini.

"Klien saya berurusan dengan Apple pertama kali pada bulan Desember dan Januari, jadi Apple sudah cukup memahami masalah ini," paparnya. Menurut Zito, paten tersebut bisa saja diaplikasikan pada berbagai skema DRM, tapi mengatakan pihaknya belum memutuskan apakah akan menuntut perusahaan lain juga.

Saat ini, Pat-rights menuntut ganti rugi sebesar 12 persen dari keuntungan iPod dan iTunes, tapi jika kasus ini bergulir ke pengadilan, besar ganti rugi akan tergantung pada pemegang paten. Jika Apple dinyatakan sengaja melakukan pelanggaran, ganjarannya bisa jadi tiga kali lebih besar. Jika hal ini tidak ditanggapi Apple, Pat-rights akan mengajukan masalah ini ke pengadilan. Selain dengan perusahaan Hong Kong ini, Apple juga terlibat kasus pelanggaran paten dengan perusahaan lain, yaitu Advanced Audio Devices yang mengklaim iTunes melanggar hak paten pada jukebox yang telah terdaftar sejak 2003.

VCD Bajakan (Kasus Hak Cipta)

Mungkin semua orang sudah tak asing lagi dengan VCD Bajakan, bahkan sudah banyak orang yang mempergunakan hasil karya itu.. Namun disisi lain itu termasuk pelanggaran atas Hak Cipta seseorang ataupun Label yang bertanggungjawab atas karya tersebut.



Bila Anda pernah menonton DVD bajakan, Anda pasti tahu bahwa tidak semua kualitas barang bajakan ini
bagus. Film DVD yang bergambar kabur atau goyang kemungkinan besar adalah hasil rekaman camcorder yang dibawa dalam bioskop itu kurang baik ataupun karena suasana dan keadaan yang sangat berdesakan, semua itu dilakukan asal hasil bajakan dapat dilacak dari watermark khusus pada film yang diputar di bioskop.

Watermark adalah tanda digital yang biasanya tidak terlihat oleh mata, tetapi dapat diekstrak dengan komputer atau peranti digital lain.
Watermark yang diberikan bisa berisi informasi tempat dan waktu film itu diputar Ketika hasil rekaman diedarkan penegak hukum atau pihak lain yang menyelidik barang bajakan ini dapat mengetahui bioskop tempat pembajakan Bioskop yang dicurigai kemudian dapat mengawasi penontonnya dengan lebih ketat untuk mencari pelaku pembajakan tersebut.

Mengawasi semua penonton bukan pekerjaan yang mudah. Namun, dengan teknik yang dikembangkan para peneliti dari Universitas Osaka, Jepang, para pebisnis film mungkin akan lebih lega karena menjaring pembajak ini akan lebih mudah lewat soundtrack.

Teknik yang dikembangkan oleh Yuta Nakashima, Ryuki Tachibana, dan Noboru Babaguchi ini menanamkan sinyal watermark ke dalam soundtrack film yang sedang diputar. Dengan bantuan sinyal ini, posisi pembajak dapat ditentukan dengan ketepatan setengah meter Teknik ini, menurut situs PhysOrgcom akan diterbitkan di dalam edisi berikut IEEE Transactions on Multimedia.

Teknik yang dikembangkan oleh peneliti Jepang itu memanfaatkan kanal-kanal suara yang berbeda dari soundtrack Sinyal yang berbeda ditanamkan pada masing-masing kanal, yang pada gilirannya juga akan disuarakan oleh speaker yang berbeda, mikrofon camcorder tidak dapat membedakan kedua kanal ini dan akan merekam suara sebagai sinyal tunggal.
Sinyal tunggal ini akan memadukan suara yang sudah diwatermark dari beberapa speaker menjadi satu Hasil sinyal paduan ini berbedabeda, bergantung pada posisi tempat merekam, dan ini dapat diperoleh dari analisis oleh Gombang Nan Cengka, kontributor Bisnis Indonesia.

* Sumber Blog Tentang HKI *

Tuesday, February 22, 2011

Rahasia Dagang

Rahasia Dagang

Rahasia Dagang adalah setiap formula, pola, device atau kompilasi dari informasi yang digunakan di dalam suatu bisnis seseorang sehingga memberikan kesempatan dan keuntungan bagi yang bersangkutan. Di dalam rancangan undang-undang yang sedang dibahas, Rahasia Dagang didefinisikan sebagai informasi di bidang teknologi atau bisnis yang tidak diketahui oleh umum, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha dan dijaga kerahasiaannya olek pemilik Rahasia Dagang. Sedangkan pemilik Rahasia Dagang adalah penemu suatu informasi di bidang teknologi atau bisnis yang menurut undang-undang HaKI dapat dikategorikan sebagai Rahasia Dagang.

Lingkup Rahasia Dagang
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Rahasia Dagang dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkup perlindungan Rahasia Dagang adalah metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui masyarakat umum. Rezim HKI ini merupakan salah satu cara yang tepat untuk melindungi ide, selain Paten.

Lama Perlindungan
Beberapa alasan/keuntungan penerapan Rahasia Dagang dibandingkan Paten adalah karya intelektual tidak memenuhi persyaratan paten, masa perlindungan yang tidak terbatas, proses perlindungan tidak serumit dan semahal paten, lingkup dan perlindungan geografis lebih luas.


Pelanggaran dan Sanksi
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan dan mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan, atau pihak lain yang memperoleh/menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Prosedur Perlindungan
Untuk mendapat perlindungan Rahasia Dagang tidak perlu diajukan pendaftaran (berlangsung secara otomatis), karena undang-undang secara langsung melindungi Rahasia Dagang tersebut apabila informasi tersebut bersifat rahasia, bernilai ekonomis dan dijaga kerahasiaannya, kecuali untuk lisensi Rahasia Dagang yang diberikan. Lisensi Rahasia Dagang harus dicatatkan ke Ditjen.
Dasar Hukum Indonesia Untuk Mengatasi Persaingan Curang

Sistem hukum yang ada di Indonesia mengenai persaingan curang diatur dalam secara umum pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perbuatan melawan hukum. Begitu juga terdapat dalam pasal 322 jo. Pasal 323 jo.pasal 382 Kitab undang-undang hukum pidana dan secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

*Sumber Google*

Hak Cipta (Copyright)


Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) ada  empat jenis utama dari HAKI, yaitu :
  • Hak cipta (copyright)
  • Paten (patent)
  • Merk dagang (trademark)
  • Rahasia dagang (trade secret)
Menurut sumber yang saya dapat, inilah pengertian dari Hak Cipta / Copyright :
Hak cipta adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan terhadap ciptaannya dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak penuh terhadap ciptaannya tersebut serta salinan dari ciptaannya tersebut. Hak-hak tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat salinan dari ciptaannya tersebut, hak untuk membuat produk derivatif, dan hak-hak untuk menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain. Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.
 Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam Hak Cipta, antara lain:
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan: adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Hak Cipta: hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan.  pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Lingkup Hak Cipta
a. Ciptaan yang dilindungi
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu:
  • buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  • seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
  • arsitektur;
  • peta;
  • seni batik;
  • fotografi;
  • sinematografi;
  • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

b. Ciptaan yang tidak diberi Hak Cipta
Sebagai pengecualian terhadap ketentuan di atas, tidak diberikan Hak Cipta untuk hal-hal berikut:
  • hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  • peraturan perundang-undangan;
  • pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  • putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  • keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

Bentuk dan Lama Perlindungan
Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta atas Ciptaan:
  • program komputer;
  • sinematografi;
  • fotografi;
  • database; dan
  • karya hasil pengalihwujudan
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 

* Sumber; Google *

Wednesday, February 16, 2011

Hantu di Kamera


Seberkas bayangan putih melambai-lambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Hani melepaskan kembali kameranya untuk memastikan kejadian tadi.

Dua tahun lalu, ketika kami akan pergi ke suatu tempat…
“Anak-anak, kalian harus menyelesaikan tugas ini akhir minggu nanti. Apabila ada yang tidak mengumpulkannya, nilainya akan Ibu minuskan. Silakan, bagi kelompok kalian masing-masing” suara Ibu Diah terdengar nyaring ke seluruh kelas.
Hari ini merupakan jam Ibu Diah untuk mengajar, tepatnya mengajar Sejarah. Dan kali itu, kami diberi tugas yang lumayan berat. Menganalisa pahlawan daerah yang telah berjasa bagi daerah kami.
Akhirnya kelompok pun di bagi-bagi menjadi beberapa orang. Di antaranya Tami, Hani, Lia, dan aku menjadi bagian dari kelompok mereka. Lia dipilih menjadi ketua kelompok, karena ia mengetahui medan yang akan kami tempuh. Dan Hani menjadi juru kamera.
Aneh memang, namun ini adalah tugas. Kalau bukan tugas yang diberikan guru killer itu, aku pun tidak mau ke daerah tersebut. Apalagi, ketika aku tahu bahwa kami akan ke sebuah gunung tempat dimakamkannya pahlawan tersebut.
“Gunung, kenapa mesti ke gunung? Aku kan capek!” keluh Hani, yang memasang tampang cemberut. Mungkin, dalam hati, masing-masing dongkol sama sikap Hani yang manja itu. Maklumlah, ia tidak pernah pergi jauh-jauh. Mungkin tempat paling jauh yang pernah ia kunjungi adalah sekolahnya sendiri.
“Udah deh, jangan manja gitu, nggak terlalu jauh kok. Apalagi di sana banyak orang dagang,” ungkap Lia, yang sudah pernah menjajal gunung tua itu. Aku sengaja merahasiakan nama gunung itu, karena aku takut.
Akhirnya Hani luluh juga, mungkin hanya dia yang agak keberatan untuk mengobservasi ke daerah itu.

Namun, apa mau dikata, jika tidak ada jalan keluar lain lagi, Hani mesti turut serta. Karena, kalau ia tidak ikut, namanya tidak akan tercantum dan dicoret dengan segera.
Pagi-pagi sekali kami sudah mempersiapkan segalanya. Tas yang lumayan penuh makanan, obat-obatan, dan alat tulis untuk mencatat. Tidak lupa kami membawa kamera untuk lampiran foto dalam makalah kami.
Sebenarnya gunung itu tidak terlalu terjal, dan juga tidak terlalu jauh dari kota kami. Mungkin hanya beberapa kilometer. Dalam perjalanan, kami lebih banyak bercanda dan tertawa riang. Padahal ada sesuatu yang menunggu di sana….
Gunung itu sebenarnya merupakan kawasan wisata di kota kami, keberadannya menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kebanyakan mereka menjual makanan dan minuman, ada juga yang menjual beberapa bunga untuk dijadikan sesajen.
Hani mulai menjepret ke sana-kemari. Ia memang lihai dalam hal ini. Hani bercita-cita menjadi seorang fotografer profesional. Kami menahan tawa saat mendengar apa yang dikatakannya. Hani, Hani... anak manja seperti kamu apa bisa?
Menuju puncak gunung itu membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Banyak sekali memang kendala yang kami temukan di sana. Tami kehilangan dompetnya, kemudian aku yang tersandung hingga lututku lecet. Lia mendadak sakit perut, sedang Hani hanya selalu mengeluh kecapekan. Namun, pada akhirnya kami sampai juga di puncak gunung itu.
Terlihat sebuah bangunan tua di puncak gunung itu, mungkin usianya sudah ratusan tahun, seperti yang kami pelajari di Sejarah. Di samping bangunan tua tersebut terdapat makam yang disebut-sebut sebagai makam pahlawan yang kami teliti.

“Han, foto yang di sebelah situ!” titah Lia kepada Hani sembari menunjuk salah satu makam yang terlihat sangat bersih. Hani pun mengangguk cepat, ia mulai mendekati makam yang ditunjuk oleh Lia.
Dipasangkan matanya pada lensa kamera, kemudian mencari-cari posisi yang tepat untuk membidiknya. Tiba-tiba, Hani seperti keheranan dan tidak jadi memotretnya, kami ikut-ikutan heran melihatnya.
Ia menggaruk-garuk rambutnya perlahan, kemudian nada suaranya menjadi berubah. “Eh, kalian lihat ada orang enggak di sana?” tanyanya aneh. Kami tidak mengerti, apa yang ia tanyakan.
“Kamu enggak lihat, di sini kan hanya ada kami,” jawab Lia agak marah kepada Hani. “Ini bukan waktunya untuk bercanda dan manjadi anak yang manja,” pikirnya. Lia masih terlihat dongkol melihat Hani.
Hani terlihat sangat aneh, ia seperti melihat sesuatu, namun banyak ketidakjelasan yang ia ungkapkan, karena Hani hanya terdiam. Ia mencoba lagi, menempelkan matanya pada kamera miliknya itu. Lagi-lagi ia melihat sesuatu.
Seberkas bayangan putih melambai-lambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Hani melepaskan kembali kameranya untuk memastikan kejadian tadi. Ternyata… bayangan seseorang itu sudah tidak ada lagi! Hani semakin bingung, ia tidak tahan untuk keluar dari sana.
“Kalian… kalian enggak melihat apa-apa di sana. Aku, aku melihat sesuatu,” sambil terbata-bata ia merangkai kalimat itu. Kami semua terdiam sesaat. Yang kami pikirkan itu hanya candaan Hani yang manja. Namun, bulu kudukku merinding seketika itu juga, entah mengapa aku pun merasakan sesuatu di sana.
“Aku enggak melihat apa-apa. Kamu jangan bercanda dong, Han!” pinta Lia kepada Hani untuk menghentikan gurauannya itu.

Tubuh Hani terlihat gemetaran, seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan di sana. Namun, kami tidak melihat apa-apa di sana. Ada apa dengan Hani?
“Kalau kalian enggak percaya, coba deh kalian lihat!” pintanya pada kami dengan memberikan kamera miliknya yang diberi oleh ayahnya ketika usianya tepat tujuh belas tahun.
Refleks saja aku menyambar kameranya dan menempelkannya pada mataku yang besar. Dan aku, aku tidak melihat apa-apa. Tidak ada sesuatu yang aneh, sekali lagi kukucek-kucek mataku untuk meyakinkan kembali. Ternyata memang tidak ada apa-apa yang mencurigakan.
“Enggak ada apa-apa tuh,” aku kemudian memberikan kamera pada Lia untuk gantian ia yang melihatnya. Dan reaksinya pun hampir sama, kami berdua tidak melihat apa-apa di sana. Mungkin Hani merasa bosan di sana, supaya kami semua hengkang dengan segera dari tempat itu.
Hani kali ini tidak dapat diandalkan lagi, tangannya gemetaran. Ia bahkan tak kuasa memegang kamera miliknya sendiri karena hampir saja kamera itu terjatuh. Tubuhnya menggigil kedinginan, padahal cuaca saat itu cukup panas.
“Kamu kenapa sih, Han, kok aneh banget?” tanyaku padanya sambil merapikan letak rambutnya yang tidak beraturan. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi bibirnya seperti terkunci rapat.
Hani memang teman kami yang paling manja dan kekanak-kanakan, karena itu aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Namun, kali ini aku harus percaya. Wajah Hani tidak terlihat sedang bercanda, apalagi bermanja dengan kami, wajahnya menyimpan guratan ketakutan. Akhirnya, kami memilih untuk pergi sesegera mungkin dari tempat itu.
Setelah kejadian itu, Hani menjadi lebih pendiam.

Ia jarang atau bahkan tidak pernah tertawa riang dan penuh manja kepada kami. Aku pun mulai khawatir dengan keadaannya. Aku mulai berpikir bahwa ini ada hubungannya dengan peristiwa kemarin.
Aku sedikit melupakan peristiwa itu akhir-akhir ini. Kami sibuk menyelesaikan tugas yang seminggu lalu diberikan. Aku kebagian mencetak foto yang telah kami bidik kemarin. Tiba-tiba saja aku terperanjat kaget, membuatku shock berat. Foto itu, ada seseorang di foto itu. Aku menatapnya sekali lagi, kuingat-ingat kejadian waktu itu. Bukankah hasil cetakan ini aku yang memotretnya? Dan tidak ada siapa-siapa di sana ketika aku memotretnya. Ada apa ini?
Aku segera menemui mereka, menunjukkan foto yang telah dicuci cetak itu. Mereka hanya ternganga tidak percaya, mengucek-ngucek mata untuk meyakinkan sekali lagi.
Hani bereaksi dengan cepat menanggapi foto tersebut. “Ini, bayangan ini yang aku lihat kemarin. Benar, aku melihatnya melambai-lambaikan tangannya padaku, seperti ingin menuntunku ke suatu tempat. Ini buktinya, tapi kalian tidak percaya” ungkapnya panjang lebar sambil menunjuk ke bayangan tersebut.
Aku sekarang yang terdiam. Bukankah itu hasil jepretanku dan aku tidak melihat sesuatu pun ketika itu? Kami berempat hanya menyeringai tak karuan menyaksikan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh kami.
Tubuhku kini gantian terasa kaku dan sangat menggigil, takut. Aku memandang Hani, yang juga gemetaran. Karena, hanya kami berdua yang merasa dihantui kejadian ini
Aku mulai berpikir macam-macam. Jangan-jangan itu gambar penghuni gunung yang dikeramatkan, atau bisa jadi kamera itu yang bermasalah. Memang banyak kemungkinan, sampai-sampai aku menjadi semakin penasaran.

Dan aku tidak akan mengingat kejadian itu, kami segera membuang foto itu dan merobeknya menjadi beberapa bagian. Aku tidak ingin memikirkan kejadian itu lagi. Cukup sudah peristiwa ganjil tersebut membuat kami waswas, membuat kami selalu ketakutan. Kami pun sepakat untuk melupakan semua yang telah terjadi. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi dalam hari-hari kami, terutama aku dan Hani.
Satu tahun yang lalu…
Acara perpisahan kelas berlangsung hari ini. Kami semua bahagia walaupun kami akan segera berpisah untuk melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Aku dan ketiga sahabatku yang lain sangat bersedih, karena kami mungkin tidak dapat bersama-sama lagi seperti dahulu.
Hari ini acara perpisahan sangat meriah, banyak murid yang datang walaupun untuk sekedar berfoto-foto bersama. Dan hari itu hari yang tidak akan terlupakan, karena kejadian ganjil itu terulang kembali.
“Siap ya! Satu…dua…tiga…!” Kilauan cahaya kamera tertuju pada kami berempat. “Ini adalah kenang-kenangan yang tidak akan terlupakan,” pikirku. Mereka pun pasti berpikir seperti itu.
“Ga…gambarnya kenapa? Kok …” Hani tidak dapat meneruskan kata-katanya. Sesosok bayangan putih itu hadir kembali sembali melambaikan tangannya. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, kejadian satu tahun tersebut kini terulang kembali.
Hani akhirnya ingat sekarang, ia memakai kamera yang sama sewaktu kejadian di puncak gunung setahun yang lalu. Kamera itu terpaksa ia pakai lagi, karena kamera Hani yang lainnya dipinjam oleh Nia, adiknya.
Ia pun menyadari, ada ketidakberesan pada kameranya. Kamera yang sudah lama diberi oleh papanya itu. Dan kami berempat akhirnya juga sadar, kamera tersebur berhantu. Sejak saat itu Hani berjanji, tidak akan memakai kamera aneh itu lagi.

Saturday, February 12, 2011

Sepatu Basket!!

Har mondar-mandir di depan meja tamu. Di atas meja itu tergolek selembar amplop warna
cokelat. Selepas ashar tadi seorang pria bersafari menitipkannya pada Har. Ibunya sedang tidak ada di rumah. Sejak siang tadi Ibu sibuk mengantarkan kue-kue pesanan para langganannya. 

“Tolong amplop ini diberikan ke Ibu ya? Bilang saja dari Ibu Atik, untuk melunasi kue-kue
Lebaran yang dipesan Ibu Atik. Sisanya akan diberikan Ibu Atik kalau kuenya sudah diantarkan,” 
pesan pria bersafari, sebelum Volvo hitam berplat militer meninggalkan halaman rumahnya.


Usaha katering ibunya memang sangat terkenal. Kebanyakan pelanggannya dari kalangan pejabat pemerintah, petinggi-petinggi militer, pengusaha, artis, dan banyak lagi. Menjelang Lebaran seperti ini, ibu kebanjiran order. Beliau bahkan sudah tidak menerima pesanan sehari menjelang puasa.

Sejak ayahnya yang seorang tentara meninggal dunia saat menjalankan tugas di Aceh, ketika jaman-jaman DOM dahulu, ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga. Kalau hanya mengandalkan pensiuan ayahnya, mana mungkin mereka hidup serba berkecukupan seperti sekarang ini: punya rumah bagus, mobil bagus, dan segala yang bagus-bagus yang hanya mungkin diangankan kalau ibunya hanya mengandalkan hidup dari uang pensiun ayahnya. Bahkan berkat usaha kateringnya dia bisa menyekolahkan Mbak Mukti dan Mas Depo ke luar negeri! Kalau lulus SMU nanti, Har akan menyusul kedua kakaknya yang sudah lebih dulu menimba ilmu di negeri Michael Jordan.

Tapi ada yang tak pernah berubah dari ibunya sejak mereka masih tinggal di mes tentara waktu ayahnya masih hidup, sampai sekarang mereka sudah tinggal di perumahan elite di kawasan Depok. Kesederhanaan! Itu yang selalu Ibu ajarkan kepada anak-anaknya. Beliau tidak suka menghambur-hamburkan uang demi yang namanya kemewahan. Meski mereka memiliki mobil, Ibu tak pernah mengijinkan Har ke sekolah diantar pak
sopir.
 

“Kalau mau berhasil, kamu harus belajar jadi orang kecil. Nggak usah bertingkah seperti teman-temanmu yang kaya-kaya itu.”  

Begitu nasehat beliau waktu Har memaksa sopir keluarga mengantarnya ke sekolah. Sesungguhnya Har bisa mengerti sikap ibunya. Tapi lama-kelamaan, dia bosan juga. Sebagai anak remaja, tentunya dia ingin juga berpenampilan seperti teman-temannya di sekolah. Baju, merek ternama. Celana, beli di Singapura. Sepatu, pesan di Amerika atau Italia. Pokoknya, seperti gaya-gaya remaja yang sering menghias sampul-sampul majalah, atau artis-artis sinetron di tv-tv swasta. Up to date. Funky dan trendy. Dan ke mana-mana selalu naik mobil mewah, diantar sopir atau duduk sendiri di belakang stir. Teman-teman sekolahnya memang
kebanyakan dari kalangan anak pejabat, anak pengusaha kaya, anak penyanyi tenar atau bintang sinetron ternama. Har masih memandangi amplop cokelat di atas meja. Kalau dilihat dari tebalnya, pasti uang yang ada di dalamnya cukup banyak. Kalau dia mengambilnya selembar, atau bahkan beberapa lembar saja, pasti Ibu tidak akan menyadarinya. Apalagi beliau sedang sibuk-sibuknya dengan urusan pesanan-pesanan kue Lebarannya. Sudah lama Har mendambakan bisa memakai sepatu seperti yang dipakai legenda basket Michael Jordan atau seperti yang dipakai shooting guard asal LA Lakers, Kobe Bryant. Dia sudah bosan dengan sepatu Bata yang dibelikan ibunya saat dia masuk ke SMU. Sudah setahun lebih sepatu itu tidak diganti. Sekarang Har sudah duduk di bangku kelas dua.

Har masih ingat bagaimana komentar Sheila, yang anak seorang pengusaha perbankan, saat tanpa sengaja Har menginjak sepatu barunya yang dibelikan papanya langsung dari pabriknya di Amerika sana.
 

“Kalo jalan, liat-liat dong!”
“Sori?”
“Sori, sori… kalo rusak bisa ganti nggak lo?!”
Har hanya menunduk.
“Hati-hati, She… n’tar sepatu lo bisa kena
tetanus diijek sama sepatu Har!”
kata Ave, membuat seisi kelas menertawainya.


Kalau saja tidak ingat sedang berpuasa, rasanya Har ingin sekali membuat jontor bibir si Ave saat itu juga. Kemarin Har menagih jatah Lebarannya pada Ibu, meski Lebaran masih beberapa hari lagi.

“Tenang aja, Ibu sudah siapkan.”


Ibu masuk ke dalam kamarnya. Tak berapa lama dia kembali bersama selembar amplop putih di tangannya.

“Ibu nggak sempat membelikan. Kamu beli aja sendiri. Ingat! Nggak usah yang mahal-mahal. Yang penting awet.” Har menerima amplop. 


“Tumben,” ucapnya dalam hati.

Dia membuka amplop pemberian ibunya. 

“Cuma lima ratus ribu?!” batinnya.


“Yah.. mana cukup, Bu…”
“Lima ratus ribu nggak cukup?! Biasanya kalo Ibu membelikan kamu baju, nggak sampai sebanyak itu.
“Iya. Tapi Har mau beli sepatu juga, Bu.”
“Masa, lima ratus ribu nggak cukup buat beli baju dan sepatu. Memangnya kamu mau beli sepatu yang kayak apa sih?”
“Har mau beli sepatu basket.”
“Emangnya kamu bisa main basket?”

“Ya nggak sih. Tapi nggak ada salahnya kan Har pakai sepatu basket ke sekolah?”
“Memangnya berapa harga sepatu yang mau kamu beli?”

“Ng… nggak sampe satu juta kok, Bu.”
“Satu juta?!”

“I... iya, Bu. Ibu mau nambahin kan?”
“Nggak ada! Itu namanya pemborosan. Beli sepatu kok mahal-mahal. Nanti juga diinjak-injak”
“Yah, Ibu… masa, Har harus beli sepatu Bata lagi? Malu dong sama teman-teman, Bu.”
“Kalo kamu nggak naik kelas, baru kamu boleh malu. Masa, gara-gara pakai sepatu Bata kamu malu? Nggak usah bertingkah yang macem-macem deh. Atau kamu mau Ibu belikan septu basket, tapi kamu nggak usah kuliah?”
“Mana bisa begitu, Bu.”
“Ya bisa aja. Orang Ibu yang punya uang. Pilih mana?”

 
Har tak bisa berkata-kata. Percuma. Dia tak akan pernah menang berdebat dengan ibunya. Lagi-lagi wajah Sheila terbayang-bayang di benaknya. Dia masih ingat bagaimana reaksi gadis mungil yang sombong itu waktu sepatu barunya terijak olehnya. Belum lagi tampang si Ave waktu melontarkan ejekan kepadanya.
 

Ah… Har hanya bisa tertunduk lemas saat itu. Semakin lama dipandang, amplop berisi uang
di atas meja tamu itu, semakin tampak mempesona. Dengan beberapa lembar uang di dalamnya, Har sudah bisa mewujudkan impiannya memiliki sepatu basket seperti yang dipakai Michael Jordan atau Kobe Bryant.
 

Tapi kalau dia membeli sepatu yang harganya selangit itu, pasti Ibu akan bertanya dari mana Har mendapatkan tambahan uang. Apa yang nanti harus dia katakan? Ah, kalau Ibu tidak melihat sepatu itu, tentu dia tak perlu menyiapkan alasan apa pun, selama dia bisa menyembunyikan sepatu itu dari pandangan mata Ibu! Nanti, kalau dia sudah bisa mengembalikan uang yang dipakainya pada Ibu, baru dia mengatakan yang sebenarnya pada Ibu. 

“Pasti Ibu tak akan marah saat itu,”

begitu pikir Har. Akhirnya Har mengambil lima lembar seratus ribuan dari dalam amplop cokelat yang seharusnya dia berikan kepada Ibu. Tapi dia kembali ragu.
 

“Bagaimana kalau nanti Ibu menanyakan ‘jatah Lebaran’ yang diberikannya?” Har memutar otaknya.
“Aha!

Kukatakan saja pada Ibu bahwa uang itu kutabung dulu sampai aku bisa mengumpulkan
kekurangannya untuk beli sepatu basket. Yes! Lebaran besok aku sudah bisa memakai sepatu basket. Sheila pasti tak akan memandang hina kepadaku lagi. Dan Ave… akan kubungkam mulutnya yang suka mengejek itu. Lihat saja nanti!”

Ba’da megrib. Selepas menyantap hidangan buka puasa terakhir, Har tampak sudah rapi dengan kaos oblong, celana jeans, dan tentu saja sepatu Bata-nya. Malam ini dia akan pergi ke Mal Depok untuk membeli sepatu basket. Dia belum memutuskan apakah akan membeli sepatu seperti yang dipakai Michael Jordan, atau seperti yang digunakan Kobe Bryant. Pokoknya salah satu dari itu! Sebenarnya Har nggak tahu-menahu soal basket.
Dia hanya sering mendengar teman-teman sekolahnya membicarakan kedua pemain itu. Dia hanya tahu sepatu yang dipakai kedua pemain itu bagus dan digemari oleh teman-temannya. Di sekolahnya, SMU Favorit, olahraga basket memang sangat digemari. Jadi, meski tak ada lagi stasiun TV yang menayangkan pertandingan NBA lagi, style basket masih jadi trend di lingkungan sekolahnya. 


Tapi setibanya di Mal Depok, Har malah jadi bingung sendiri. Begitu banyak orang yang berbelanja di tempat itu. Melihat lautan manusia sebanyak itu, kepala Har jadi pening. Padahal, dia belum mendapatkan apa yang dicarinya. Har memutuskan untuk keluar dari mal, mencari udara segar.
Har masuk ke dalam restoran siap saji yang berada di samping kanan bengunan mal. Buka puasa tadi dia memang belum makan. Har memesan dua dada ayam goreng dan segelas minuman soda. Lalu mengambil tempat di lantai dua, di dekat jendela. Dari tempatnya, dia bisa melihat hiruk-pikuk orang-orang di bawah sana, yang semakin malam semakin bertambah jumlahnya!


Tiba-tiba matanya tertumbuk sesosok tubuh kumal yang tengah tertidur di depan tangga masuk mal. Mungkin sudah sejak tadi siang dia berada di situ. Mengharap selembar-dua lembar rupiah dari tangan-tangan orang berhati dermawan. Karena terlalu banyak orang, waktu keluar dari mal tadi, Har tidak melihat pemuda itu duduk di sana.

Pemuda seusianya itu tampak letih. Matanya terpejam. Sebuah topi jerami tergeletak di depannya. Beberapa orang yang lalu-lalang melemparkan uang ke dalam topinya.
Har menghampiri pemuda itu. Untuk beberapa saat dia mematung. Ragu. Lalu seperti ada yang menggerakkan tangannya. Dia mengutip selembar ratusan ribu dari dalam dompetnya. 


“Empat ratus ribu kurasa cukup buatku membeli baju baru dan sepatu Bata....”
Har tertawa dalan hatinya.
“Biarlah aku nggak jadi membeli sepatu basket. Lima ratus ribu yang aku pinjam tanpa sepengatahuan Ibu lebih baik kukembalika saja.”  


Har melemparkan uang seratus ribu ke dalam topi jerami milik pemuda peminta-minta itu. Ia menepuk pundak pemuda itu, sebelum melangkah pergi.
Pemuda peminta-minta itu terjaga karena tepukan di pundaknya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari tahu siapa yang sudah membangunkan tidurnya. Tiba-tiba dia teringat dengan topi jeraminya. 


“Sudah berapa ya uang yang ada di dalamnya?” gumamnya dalam hati. 

Pemuda itu memungut selembar ratusan ribu yang ada di dalam topi jeraminya. Dia meneliti uang itu. “Asli!” teriaknya dalam hati.
“U... uang… uang! Siapa orang baik hati itu? Alhamdulillah....” pemuda itu berucap syukur berkali-kali.

“Mungkin seorang malaikat yang meletakkannya di sana.” Begitu pikir pemuda itu, yang untuk berjalan harus menggunakan kedua tangannya, karena dia tidak memiliki sepasang kaki. Kedua kakinya teramputasi hingga nyaris sebatas pangkal pahanya!

Setiba di rumah, Har membuka kotak sepatu yang baru dibelinya. Dia mencoba mengenakan sepatu barunya. Bukan sepatu basket, memang. Bukan juga sepatu Bata seperti miliknya. Har membeli sepatu made in Cibaduyut yang terkenal tahan lama itu. Biar awet!


“Gak jadi beli sepatu basket, Har?” ibunya menyindir.
“Ah, Ibu…” Har tersipu malu, “ 


Har emang pernah bersedih karena gak punya sepatu basket seperti teman-teman Har, sampai… Har bertemu seorang yang tidak memiliki kaki!”
Ibu tersenyum dan membelai kepala anak semata wayangnya.