Dian Asri Wulandari
20209811 / 4 EB 07
Pembobolan Situs Milik KPU
Pada hari Sabtu, 17 April 2004, Dani Firmansyah (25 th), konsultan
Teknologi Informasi (TI) PT Danareksa di Jakarta berhasil membobol situs milik
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di http://tnp.kpu.go.id dan mengubah nama-nama
partai di dalamnya menjadi nama-nama unik seperti Partai Kolor Ijo, Partai Mbah
Jambon, Partai Jambu, dan lain sebagainya. Dani menggunakan teknik SQL
Injection(pada dasarnya teknik tersebut adalah dengan cara mengetikkan string
atau perintah tertentu di address bar browser) untuk menjebol situs KPU.
Kemudian Dani tertangkap pada hari Kamis, 22 April 2004. ( Sumber : http://kaaeka.wordpress.com)
Analisis :
1. Pelaku Kasus Pelanggaran :
Dani Firmansyah, 25th,
Konsultan Teknologi Informasi (TI) PT Danareksa Jakarta.
2. Jenis Kasus Pelanggaran :
Pembobolan Situs Milik KPU
3. Akibat dari kasus pelanggaran :
Kasus tersebut sudah sangat
jelas termasuk pelanggaran etika, karena Dani Firmansyah selaku tersangka dalam
pembobolan situs KPU telah terbukti bersalah. Dia membobol system keamanan
situs KPU dan mengganti-ganti nama partai yang dapat menyebabkan kerugian dan
ketidaknyaman bagi pihak lain. Dan telah jelas pula Dani Firmansyah
menyalahgunakan keahliannya dalam bidang teknologi untuk merugikan pihak lain.
Kalau dilihat dari sisi kode etik ACM dan etika mana yang dilanggar ?
Etika yang dilanggar dalam kode etik ACM
adalah pada point Kewajiban moral umum sebagai anggota ACM, yaitu :
- Menghindari
perbuatan menyakiti orang lain.
- Jujur
dan dapat dipercaya.
- Memberikan
kontribusi kepada masyarakat dan kesejahteraan umat manusia.
- Menghargai
privasi orang lain.
Karena dani firmansyah telah melakukan
perbuatan yang melanggar tiga point dalam kode etik kewajiban moral dalam ACM.
4. Aspek hukum yang bisa dikenakan :
Pada kasus tersebut ada
beberapa hukum yang bisa dikenakan untuk menuntut Dani Firmansyah, diantaranya
:
1. UU ITE No 11Pasal 27 ayat 3
Tahun 2008 , yang berbunyi : : “Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik “.
2. UU ITE No 11 Pasal 30 Ayat 3
Tahun 2008, yang berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”.
Karena Dani Firmansyah telah terbukti, dia
melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik partai-partai yang ada dalam
situs KPU dengan cara mengganti-ganti nama partai tersebut. Tidak hanya itu
Dani Firmansyah juga telah terbukti jelas bahwa dia melakukan menjebolan system
keamanan pada situs KPU.
5. Bagaimana tindakan pemerintah terhadap
yang melakukan tindakan tersebut ?
Karena tidak ada aturan
hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat merasa kesulitan untuk melarang
tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini, pemerintah pusat merasa perlu
untuk menyusun UU ini. Sekalipun niat awal pembentukan UU Etika baik,
secara normatif, patut dipertanyakan urgensinya karena sistem hukum
sesungguhnya telah mengantisipasi permasalahan tersebut. Sekiranya terjadi
sesuatu yang debatable mengenai boleh tidaknya suatu tindakan yang tidak diatur
dalam peraturan tertulis, solusinya mencari hukum.
Misalnya, menggunakan
logika hukum serta menggali nilai-nilai hukum yang terdapat pada norma hukum
dan asas hukum, perasaan hukum dan keadilan masyarakat, atau mencari nilai
filosofis yang terkandung dalam suatu peraturan hukum. Satjipto Rahardjo
menjelaskan konsep ini dengan contoh sederhana. Sekiranya ada orang waras yang
buang air kecil di kelas, tindakan orang tersebut salah. Kesimpulan tersebut
tidak harus berpatokan pada ada tidaknya aturan tertulis yang menyatakan,
"dilarang buang air kecil di kelas", namun dapat berpatokan pada asas
kepantasan yang hidup dalam masyarakat, buang air kecil harus di toilet.
Mekanisme serupa sesungguhnya juga dapat menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam pemerintahan. Upaya untuk mencegah kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah pusat tidaklah harus diatur dengan peraturan tertulis, cukup merujuk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Salah satu poin dari AUPB tersebut menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh untuk menarik wewenang yang sah dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam Erliyana, 2007). Kepala daerah memang berwenang menyerap aspirasi warganya, namun wewenang tersebut tidak boleh untuk "mengganggu" wewenang pemerintah pusat.
Terkait unjuk rasa kepala daerah yang menentang kenaikan harga BBM, itu erat dengan wewenang pemerinta pusat sebab penentuan harga BBM merupakan masalah yang terkait dengan fiskal dan moneter. Dua hal tersebut, menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Lebih dari itu, semangat konsep pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah daerah senantiasa segaris dengan pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan demikian, kasus demonstrasi kepala daerah dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis. Pendekatan serupa juga dapat untuk membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai menjabat selama dua periode namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah dalam pilkada selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot membuat aturan tertulis untuk melarang niat tersebut karena pemerintah dapat menolak berdasarkan doktrin hukum.
Hipotesis Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah diakui dan menjadi sebuah doktrin dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis tersebut, besaran serta durasi kekuasaan senantiasa harus dibatasi.
Bahaya. Khusus untuk pembatasan durasi kekuasaan, sistem pemerintahan telah menyepakati masa dua periode adalah masa yang maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945, Pasal 110 Ayat 3 UU 32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat ketiga kalinya patut dipandang sebagai tindakan yang tidak etis. Maka dari itu, elaborasi tersebut memberi pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu tindakan sudah dapat terlihat jelas sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu peraturan tertulis. Untuk itu, wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu. Lebih dari itu, mengatur etika dalam bentuk peraturan tertulis dapat mengunci fleksibilitas penemuan hukum tadi.
Apabila UU ini lahir, pemerintah dan masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan terdorong untuk menggunakan UU ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai hukum dari asas, norma, atau sumber lainnya terpinggirkan. Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut. Perlu pula diwaspadai sifat dari peraturan tertulis yaitu cepat usang. Peraturan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa depan terdapat kejadian yang dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU ini, pelanggar juga dapat menghindar karena tidak diatur dalam UU.
Dengan demikian, baik kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan. Selain karena dipandang tidak perlu, pengaturan etika dalam peraturan tertulis justru akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan dalam menilai etis tidaknya suatu tindakan pemerintah. (Richo Andi Wibowo, Penulis adalah dosen FH UGM)
Mekanisme serupa sesungguhnya juga dapat menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam pemerintahan. Upaya untuk mencegah kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah pusat tidaklah harus diatur dengan peraturan tertulis, cukup merujuk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Salah satu poin dari AUPB tersebut menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh untuk menarik wewenang yang sah dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam Erliyana, 2007). Kepala daerah memang berwenang menyerap aspirasi warganya, namun wewenang tersebut tidak boleh untuk "mengganggu" wewenang pemerintah pusat.
Terkait unjuk rasa kepala daerah yang menentang kenaikan harga BBM, itu erat dengan wewenang pemerinta pusat sebab penentuan harga BBM merupakan masalah yang terkait dengan fiskal dan moneter. Dua hal tersebut, menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Lebih dari itu, semangat konsep pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah daerah senantiasa segaris dengan pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan demikian, kasus demonstrasi kepala daerah dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis. Pendekatan serupa juga dapat untuk membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai menjabat selama dua periode namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah dalam pilkada selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot membuat aturan tertulis untuk melarang niat tersebut karena pemerintah dapat menolak berdasarkan doktrin hukum.
Hipotesis Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah diakui dan menjadi sebuah doktrin dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis tersebut, besaran serta durasi kekuasaan senantiasa harus dibatasi.
Bahaya. Khusus untuk pembatasan durasi kekuasaan, sistem pemerintahan telah menyepakati masa dua periode adalah masa yang maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945, Pasal 110 Ayat 3 UU 32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat ketiga kalinya patut dipandang sebagai tindakan yang tidak etis. Maka dari itu, elaborasi tersebut memberi pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu tindakan sudah dapat terlihat jelas sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu peraturan tertulis. Untuk itu, wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu. Lebih dari itu, mengatur etika dalam bentuk peraturan tertulis dapat mengunci fleksibilitas penemuan hukum tadi.
Apabila UU ini lahir, pemerintah dan masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan terdorong untuk menggunakan UU ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai hukum dari asas, norma, atau sumber lainnya terpinggirkan. Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut. Perlu pula diwaspadai sifat dari peraturan tertulis yaitu cepat usang. Peraturan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa depan terdapat kejadian yang dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU ini, pelanggar juga dapat menghindar karena tidak diatur dalam UU.
Dengan demikian, baik kiranya pemerintah mempertimbangkan kembali rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan. Selain karena dipandang tidak perlu, pengaturan etika dalam peraturan tertulis justru akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan dalam menilai etis tidaknya suatu tindakan pemerintah. (Richo Andi Wibowo, Penulis adalah dosen FH UGM)
Daftar Pustaka :
wahyudifebriyansyach.blogspot.com
http://khusnasabi.blogspot.com/2012/12/tugas-3-etika-profesi.html
www.gunadarma.ac.id
www.gunadarma.ac.id