Sejarah API dan Mengapa API diperlukan?
Pada awal Januari 2004 ini, siaran pers Bank Indonesia secara resmi
mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dimana salah satu
program API adalah mempersyaratkan modal minimum bagi bank umum (termasuk
BPD) menjadi Rp.100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.
Setelah melakukan penyelesaian penyusunan cetak biru API pada tahun 2003,
maka sejak tahun 2004 ini secara bertahap dalam jangka waktu lima sampai dengan
sepuluh tahun kedepan API akan diimplementasikan dengan visi yang jelas. Visi
Arsitektur Perbankan Indonesia adalah menciptakan sistim perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien guna menciptakan kestabilan sistim keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada dasarnya implementasi API di Indonesia seiring dengan implementasi
arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for Internasional Settelmenst
(BIS). Wacana arsitektur keuangan global mulai berkembang sejak tahun 1998 yang
menginginkan kestabilan keuangan global yang ditenggarai oleh pelajaran berharga pada
masa krisis di kawasan Asia Tenggara dimasa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara
yang terjadi dimasa lalu ternyata tidak hanya memusingkan Pemerintah dan Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawasan bank dengan fungsi yang diembannya sebagai
lender of last resort tetapi juga turut membuat pusing negara-negara pemberi pinjaman
(kreditor asing) pada masa itu. Oleh karenanya sekali lagi dapat dipahami mengapa BIS
mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan
keuangan melalui program arsitektur keuangan global.
Sistim perbankan yang sehat dibangun dengan permodalan yang kuat sehingga
akan mendorong kepercayaan nasabah (stakeholder) yang selanjutnya bank akan mampu
memperkuat permodalan melalui pemupukan laba ditahan. Selanjutnya perbankan
nasional yang beroperasi secara efisien akan mampu meningkatkan daya saingnya
sehingga tidak hanya jago kandang yaitu hanya mampu bersaing di sekmen pasar
domestik tetapi justru diharapkan produk dan jasa perbankan yang ditawarkan bank
nasional mampu bersaing di pasar internasional. Oleh karenanya, dalam 10 sampai
dengan 15 tahun kedepan, API menginginkan akan terdapat 2 sampai 3 bank dengan
skala bank internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai 50 bank yang kegiatan
usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha
terbatas.
Tentu perlu dipertimbangkan mengenai nasib 55 bank yang saat ini belum
mencapai permodalan minimum sebesar Rp.100 milliar. Apa saja yang dapat dilakukan
dalam kurun waktu yang telah ditetapkan?. Upaya yang dilakukan bank dapat dengan
beberapa cara atau kombinasinya yaitu, pertama, diharapkan terdapat penambahan modal
baru baik dari shareholder lama bank maupun investor baru. Kalau pemegang saham
lama dari masing-masing 55 bank tersebut tergolong likuid dan solvable tentu tidak ada
masalah tetapi sebaliknya kalau tidak maka sejak 2004 ini, pemegang saham bank perlu
menyusun suatu strategi yang dituangkan dalam bisnis plan tentang upaya-upaya apa
yang akan dilakukan kedepan mencapai permodalan Rp.100 milliar.
Kedua, upaya yang dapat dilakukan bank adalah penggabungan usaha (merger)
dengan beberapa bank. Merger bank ini seperti orang yang menikah (kawin) dimana dari
hasil perkawinan akan ada penggabungan modal (harta) yang juga menciptakan sinergi
dan efisiensi.
Ketiga, dengan secondary offering di pasar modal (Go-Public), bank akan mampu
meningkatkan permodalan. Tetapi tentu saja bank harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan BAPEPAM sebagai perusahaan Go – Publik.
Keempat, penerbitan pinjaman subordinasi dapat diakui sebagai komponen dalam
perhitungan modal bank. Namun ada ketentuan perbankan yang harus dipenuhi terlebih
dahulu agar pinjaman subordinasi dapat diakui sebagai modal pelengkap dalam struktur
permodalan bank.
Program penguatan struktur permodalan perbankan merupakan kelanjutan dari
program memperkuat ketahanan sistim perbankan yang dilakukan melalui program
restrukturisasi perbankan sejak tahun 1999. Program restrukturisasi perbankan
merupakan upaya mewujudkan stabilitas sistim keuangan yang sangat terkait erat dengan
fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort. Oleh karenanya visi yang dicapai
API seiring dengan kerangka 3 pilar utama yang diusulkan oleh Basel Accord II yang
terdiri atas pertama, mempertahankan tingkat permodalan minimum dalam rangka
meningkatkan kesetaraan dalam persaingan (level playing field). Agar target 2 sampai 3
bank yang mengarah kepada bank skala internasional dapat dicapai, diperlukan dukungan
peningkatan permodalan perbankan nasional sehingga setara kemampuan permodalannya
dengan bank-bank asing yang beroperasi secara global. Pilar kedua BIS adalah
supervisory review process yang intinya mempersyaratkan otoritas pengawas memastikan
bahwa setiap bank memiliki proses penilaian internal dalam menghitung kecukupan
modal dikaitkan dengan profil risiko. Dukungan permodalan dan risk manajemen
perbankan nasional dalam program API bertujuan agar bank-bank yang tergolong skala
internasional nantinya dapat sejajar dengan bank-bank asing tertutama terbentuknya
kepercayaan asing terhadap perbankan nasional; dan pilar ketiga BIS yang mendorong
terciptanya market dicipline dilakukan dengan cara memperluas aspek pengungkapan
informasi (disclosure) bank.
Pengungkapan informasi bank (disclosure) yang efektif merupakan hal yang
mendasar guna memastikan bahwa para pelaku pasar memahami profil risiko bank secara
menyeluruh dengan kecukupan modal yang disediakan. Transparansi yang dapat
dipercaya akan memberikan manfaat mendorong terciptanya market dicipline sehingga
kepercayaan para penyimpan dana, investor dan stakeholder lainnya dapat dipertahankan.
Pada dasarnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Risk Manajemen pada Bank Umum telah mengadopsi praktek risk manajemen
yang sesuai dengan praktek internasional. Hal-hal yang diatur dalam PBI tersebut antara
lain pertama, kewajiban pengawasan aktif dari manajemen bank, termasuk dewan
komisaris; kedua, Ketersediaan kebijakan, prosedur, serta penetapan limit risiko;
ketiga,kecukupan pengukuran dari risiko-risiko yang dihadapi bank, sistim informasi
serta pengendalian eksposur risiko dan keempat, keandalan sistim pengendalian intern
yang komprehensif
Sesuai dengan usulan Basel Accord tersebut, salah satu sasaran yang akan dicapai
dalam rangka pencapaian visi API dilakukan dengan menciptakan good corporate
governance (GCG) melalui penguatan kondisi internal perbankan. Kasus-kasus
perbankan yang terjadi baru-baru ini seperti kasus manipulasi di Bank BNI dan BRI,
menimbulkan kesan seakan-akan skandal kecurangan (fraud) hanya terjadi di Indonesia
pada hal skandal Enron dan World Com juga telah terjadi di negara besar US. Namun
demikian, tidak berarti dengan kejadian di negara lain maka kita menjadi pesimis.
Disisi lain, pada saat ini terdapat berbagai model GCG yang dilakukan oleh
otoritas pengawas lembaga keuangan di berbagai negara dalam rangka meningkatkan
GCG. Sebagai contoh, New York Stock Exchange (NYSE) pada akhir tahun 2003 lalu
juga mengeluarkan penyempurnaan pedoman GCG yang berlaku pada seluruh
perusahaan Go-Publik. Salah satu aturan GCG versi NYSE yang diharuskan dan cukup
radikal adalah tidak mengakui seseorang sebagai kategori direksi independen apabila
yang bersangkutan pernah bekerja lebih dari 5 tahun di perusahaan yang mengangkatnya
sebagai direktur independen. Selain itu, mayoritas jajaran direksi harus tergolong direktur
independen. Prinsipnya independensi ini tidak hanya di atas kertas tetapi dalam
kenyataannya masih sulit diterapkan mengingat campur tangan pemilik mayoritas bank
kadang-kadang sulit untuk dicegah karena masih ada anggapan bahwa yang menggaji
adalah pemegang saham mayoritas.
Salah satu program yang akan dilakukan dalam implementasi API yang dimulai
sejak tahun 2004 ini adalah meningkatkan GCG dengan menetapkan minimum standard
GCG dan mendorong bank-bank untuk go publik. Dengan menjadi bank Go-Publik maka
persyaratan transparansi dan kontrol pengendalian masyarakat menjadi semakin besar,
sehingga kasus-kasus perbankan dikemudian hari dapat diminimalkan untuk tidak
terulang kembali. Paling tidak apabila terjadi kasus-kasus perbankan harus segera
diumumkan sesuai persyaratan bank Go-Publik.
Secara keseluruhan pelaksanaan program implementasi API terdiri atas enam
pilar dan implementasi pilar-pilar dimaksud dilaksanakan dengan 19 inisiatif yang
pelaksanaan seluruhnya dimulai tahun 2004. Program API tersebut tidak hanya
berpengaruh terhadap perbankan nasional tetapi dalam internal pengawasan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia juga terdapat aktivitas yang dilakukan melalui kegiatan
pilar 3 yaitu peningkatan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yang selama ini
merupakan kewenangan Bank Indonesia.
Salah satu sasaran yang tidak kalah pentingnya terkait dari implementasi
arsitektur perbankan adalah pilar ke enam yaitu program peningkatan perlindungan
nasabah. Memberdayakan kepentingan nasabah melalui penetapan standar penyusunan
mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independensi, peningkatan
transparansi informasi dan produk perbankan serta edukasi bagi nasabah sejalan dengan
fenomena visi dan misi perusahaan global pada abad 21 ini yaitu “how to satisfy the
customer”.
No comments:
Post a Comment