Thursday, October 14, 2010

API

Sejarah API dan Mengapa API diperlukan?

Pada awal Januari 2004 ini, siaran pers Bank Indonesia secara resmi

mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dimana salah satu

program API adalah mempersyaratkan modal minimum bagi bank umum (termasuk

BPD) menjadi Rp.100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.

Setelah melakukan penyelesaian penyusunan cetak biru API pada tahun 2003,

maka sejak tahun 2004 ini secara bertahap dalam jangka waktu lima sampai dengan

sepuluh tahun kedepan API akan diimplementasikan dengan visi yang jelas. Visi

Arsitektur Perbankan Indonesia adalah menciptakan sistim perbankan yang sehat, kuat,

dan efisien guna menciptakan kestabilan sistim keuangan dalam rangka membantu

mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada dasarnya implementasi API di Indonesia seiring dengan implementasi

arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for Internasional Settelmenst

(BIS). Wacana arsitektur keuangan global mulai berkembang sejak tahun 1998 yang

menginginkan kestabilan keuangan global yang ditenggarai oleh pelajaran berharga pada

masa krisis di kawasan Asia Tenggara dimasa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara

yang terjadi dimasa lalu ternyata tidak hanya memusingkan Pemerintah dan Bank

Indonesia sebagai otoritas pengawasan bank dengan fungsi yang diembannya sebagai

lender of last resort tetapi juga turut membuat pusing negara-negara pemberi pinjaman

(kreditor asing) pada masa itu. Oleh karenanya sekali lagi dapat dipahami mengapa BIS

mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan

keuangan melalui program arsitektur keuangan global.

Sistim perbankan yang sehat dibangun dengan permodalan yang kuat sehingga

akan mendorong kepercayaan nasabah (stakeholder) yang selanjutnya bank akan mampu

memperkuat permodalan melalui pemupukan laba ditahan. Selanjutnya perbankan

nasional yang beroperasi secara efisien akan mampu meningkatkan daya saingnya

sehingga tidak hanya jago kandang yaitu hanya mampu bersaing di sekmen pasar

domestik tetapi justru diharapkan produk dan jasa perbankan yang ditawarkan bank

nasional mampu bersaing di pasar internasional. Oleh karenanya, dalam 10 sampai

dengan 15 tahun kedepan, API menginginkan akan terdapat 2 sampai 3 bank dengan

skala bank internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai 50 bank yang kegiatan

usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha

terbatas.

Tentu perlu dipertimbangkan mengenai nasib 55 bank yang saat ini belum

mencapai permodalan minimum sebesar Rp.100 milliar. Apa saja yang dapat dilakukan

dalam kurun waktu yang telah ditetapkan?. Upaya yang dilakukan bank dapat dengan

beberapa cara atau kombinasinya yaitu, pertama, diharapkan terdapat penambahan modal

baru baik dari shareholder lama bank maupun investor baru. Kalau pemegang saham

lama dari masing-masing 55 bank tersebut tergolong likuid dan solvable tentu tidak ada

masalah tetapi sebaliknya kalau tidak maka sejak 2004 ini, pemegang saham bank perlu

menyusun suatu strategi yang dituangkan dalam bisnis plan tentang upaya-upaya apa

yang akan dilakukan kedepan mencapai permodalan Rp.100 milliar.

Kedua, upaya yang dapat dilakukan bank adalah penggabungan usaha (merger)

dengan beberapa bank. Merger bank ini seperti orang yang menikah (kawin) dimana dari

hasil perkawinan akan ada penggabungan modal (harta) yang juga menciptakan sinergi

dan efisiensi.

Ketiga, dengan secondary offering di pasar modal (Go-Public), bank akan mampu

meningkatkan permodalan. Tetapi tentu saja bank harus memenuhi persyaratan yang

ditetapkan BAPEPAM sebagai perusahaan Go – Publik.

Keempat, penerbitan pinjaman subordinasi dapat diakui sebagai komponen dalam

perhitungan modal bank. Namun ada ketentuan perbankan yang harus dipenuhi terlebih

dahulu agar pinjaman subordinasi dapat diakui sebagai modal pelengkap dalam struktur

permodalan bank.

Program penguatan struktur permodalan perbankan merupakan kelanjutan dari

program memperkuat ketahanan sistim perbankan yang dilakukan melalui program

restrukturisasi perbankan sejak tahun 1999. Program restrukturisasi perbankan

merupakan upaya mewujudkan stabilitas sistim keuangan yang sangat terkait erat dengan

fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort. Oleh karenanya visi yang dicapai

API seiring dengan kerangka 3 pilar utama yang diusulkan oleh Basel Accord II yang

terdiri atas pertama, mempertahankan tingkat permodalan minimum dalam rangka

meningkatkan kesetaraan dalam persaingan (level playing field). Agar target 2 sampai 3

bank yang mengarah kepada bank skala internasional dapat dicapai, diperlukan dukungan

peningkatan permodalan perbankan nasional sehingga setara kemampuan permodalannya

dengan bank-bank asing yang beroperasi secara global. Pilar kedua BIS adalah

supervisory review process yang intinya mempersyaratkan otoritas pengawas memastikan

bahwa setiap bank memiliki proses penilaian internal dalam menghitung kecukupan

modal dikaitkan dengan profil risiko. Dukungan permodalan dan risk manajemen

perbankan nasional dalam program API bertujuan agar bank-bank yang tergolong skala

internasional nantinya dapat sejajar dengan bank-bank asing tertutama terbentuknya

kepercayaan asing terhadap perbankan nasional; dan pilar ketiga BIS yang mendorong

terciptanya market dicipline dilakukan dengan cara memperluas aspek pengungkapan

informasi (disclosure) bank.

Pengungkapan informasi bank (disclosure) yang efektif merupakan hal yang

mendasar guna memastikan bahwa para pelaku pasar memahami profil risiko bank secara

menyeluruh dengan kecukupan modal yang disediakan. Transparansi yang dapat

dipercaya akan memberikan manfaat mendorong terciptanya market dicipline sehingga

kepercayaan para penyimpan dana, investor dan stakeholder lainnya dapat dipertahankan.

Pada dasarnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/8/PBI/2003 tentang

Penerapan Risk Manajemen pada Bank Umum telah mengadopsi praktek risk manajemen

yang sesuai dengan praktek internasional. Hal-hal yang diatur dalam PBI tersebut antara

lain pertama, kewajiban pengawasan aktif dari manajemen bank, termasuk dewan

komisaris; kedua, Ketersediaan kebijakan, prosedur, serta penetapan limit risiko;

ketiga,kecukupan pengukuran dari risiko-risiko yang dihadapi bank, sistim informasi

serta pengendalian eksposur risiko dan keempat, keandalan sistim pengendalian intern

yang komprehensif

Sesuai dengan usulan Basel Accord tersebut, salah satu sasaran yang akan dicapai

dalam rangka pencapaian visi API dilakukan dengan menciptakan good corporate

governance (GCG) melalui penguatan kondisi internal perbankan. Kasus-kasus

perbankan yang terjadi baru-baru ini seperti kasus manipulasi di Bank BNI dan BRI,

menimbulkan kesan seakan-akan skandal kecurangan (fraud) hanya terjadi di Indonesia

pada hal skandal Enron dan World Com juga telah terjadi di negara besar US. Namun

demikian, tidak berarti dengan kejadian di negara lain maka kita menjadi pesimis.

Disisi lain, pada saat ini terdapat berbagai model GCG yang dilakukan oleh

otoritas pengawas lembaga keuangan di berbagai negara dalam rangka meningkatkan

GCG. Sebagai contoh, New York Stock Exchange (NYSE) pada akhir tahun 2003 lalu

juga mengeluarkan penyempurnaan pedoman GCG yang berlaku pada seluruh

perusahaan Go-Publik. Salah satu aturan GCG versi NYSE yang diharuskan dan cukup

radikal adalah tidak mengakui seseorang sebagai kategori direksi independen apabila

yang bersangkutan pernah bekerja lebih dari 5 tahun di perusahaan yang mengangkatnya

sebagai direktur independen. Selain itu, mayoritas jajaran direksi harus tergolong direktur

independen. Prinsipnya independensi ini tidak hanya di atas kertas tetapi dalam

kenyataannya masih sulit diterapkan mengingat campur tangan pemilik mayoritas bank

kadang-kadang sulit untuk dicegah karena masih ada anggapan bahwa yang menggaji

adalah pemegang saham mayoritas.

Salah satu program yang akan dilakukan dalam implementasi API yang dimulai

sejak tahun 2004 ini adalah meningkatkan GCG dengan menetapkan minimum standard

GCG dan mendorong bank-bank untuk go publik. Dengan menjadi bank Go-Publik maka

persyaratan transparansi dan kontrol pengendalian masyarakat menjadi semakin besar,

sehingga kasus-kasus perbankan dikemudian hari dapat diminimalkan untuk tidak

terulang kembali. Paling tidak apabila terjadi kasus-kasus perbankan harus segera

diumumkan sesuai persyaratan bank Go-Publik.

Secara keseluruhan pelaksanaan program implementasi API terdiri atas enam

pilar dan implementasi pilar-pilar dimaksud dilaksanakan dengan 19 inisiatif yang

pelaksanaan seluruhnya dimulai tahun 2004. Program API tersebut tidak hanya

berpengaruh terhadap perbankan nasional tetapi dalam internal pengawasan yang

dilakukan oleh Bank Indonesia juga terdapat aktivitas yang dilakukan melalui kegiatan

pilar 3 yaitu peningkatan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yang selama ini

merupakan kewenangan Bank Indonesia.

Salah satu sasaran yang tidak kalah pentingnya terkait dari implementasi

arsitektur perbankan adalah pilar ke enam yaitu program peningkatan perlindungan

nasabah. Memberdayakan kepentingan nasabah melalui penetapan standar penyusunan

mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independensi, peningkatan

transparansi informasi dan produk perbankan serta edukasi bagi nasabah sejalan dengan

fenomena visi dan misi perusahaan global pada abad 21 ini yaitu “how to satisfy the

customer”.


No comments:

Post a Comment