Thursday, October 14, 2010

Ekonomi Pasar Sosial

Tentang Ekonomi Pasar Sosial
Posted on Januari 15, 2008 by Thamrin

Ekonomi Pasar Sosial, tiga kata ini belakangan menjadi konsep yang digadang-gadang sebagai alternatif. Tak sedikit yang membahasnya, mengulas dan menyesuaikannya dengan kebutuhan Indonesia. Tak sedikit pula yang terjebak dan salah memahaminya.

Saya teringat pada sebuah diskusi panel yang saya hadiri tanggal 3 Desember, di gedung CSIS, Jl. Tanah Abang II, Jakarta Pusat, yang sebenarnya membahas persoalan persaingan (kompetisi), UU no. 5 tahun 1999, KPPU, dan kasus Temasek yang baru-baru ini mencuat. Namun karena persoalan persaingan usaha, kompetisi, monopoli, peran negara, atau ekonomi pasar adalah prinsip-prinsip yang dibahas pula didalam ekonomi pasar sosial, maka mau tidak mau bersinggunganlah pembahasan salah satu pembicara dengan konsep ini.

Adalah Faisal Basri, ekonom yang juga pernah menjadi anggota komisioner KPPU, dalam paparannya mengatakan bahwa persoalan kompetisi di Indonesia justru banyak mendapat hambatan dari perilaku badan usaha milik negara (BUMN), yang banyak melakukan monopoli dalam praktek usahanya. Umumnya mereka tak menghendaki persaingan/kompetisi. Oleh karenanya Faisal mengajukan privatisasi sebagai salah satu solusinya dan mengkedepankan kompetisi yang fair dikalangan pelaku usaha. Privatisasi BUMN tersebut tak harus berarti pemodal asing, oleh lokal pun tak mengapa, karena disisi yang lain Faisal mengkritik pula penguasaan modal asing atas beberapa sektor usaha yang ada di Indonesia.

Pendek kata, menurut Faisal Basri kesalahan mendasar yang dimiliki oleh Indonesia adalah tak jelasnya sistem atau ideologi yang mendasari pembangunan ekonomi. Oleh karenanya ia mengusulkan konsep “ekonomi pasar sosial,” yang menurutnya telah memiliki akar di Indonesia dan pernah pula dipromosikan oleh Muhammad Hatta.

Saya tak paham apakah yang dimaksud oleh Faisal Basri adalah koperasi atau sistem ekonomi pasar sosial atau justru sistem ekonomi pasar sosialis? Ketiga pemahaman ini jelas berbeda.

Lebih membingungkan lagi, dalam paparannya kemudian Faisal Basri jelas mengkritik ekonomi pasar yang dianggap semakin membuka peluang pemisahan yang semakin dalam antara kaya dengan miskin. Tak ada yang salah terhadap haknya melontarkan kritik dan argumen. Yang menjadi persoalan adalah tak tersambungnya berbagai penjelasan tersebut.

Soal monopoli BUMN dan keengganan mereka untuk melakukan kompetisi tak dapat disanggah lagi. Mendorong BUMN untuk melakukan privatisasi juga merupakan salah satu cara agar sektor usaha yang dikuasainya menjadi lebih sehat. Disisi yang lain soal privatisasi dan kompetisi ini sangat erat kaitannya dengan ekonomi pasar. Di sistem yang masih menganut ekonomi sentralistik jangan harap akan ada privatisasi atau kompetisi.

Lantas Faisal Basri berkelit dengan jurus ekonomi pasar sosial “ala” Indonesia, yang disebutnya berakar pada budaya dan tradisi Indonesia, yang tidak semata bergantung pada ekonomi pasar.

Lagi-lagi pendapat ini menjadi aneh. Karena tak ada satu literatur pun yang setahu saya pernah menyebutkan “social market economy” berakar pada konsep yang tumbuh di Indonesia. Jika kata “sosial” yang dijadikan alasan untuk mngkaitkan konsep ini dengan Indonesia dan Muhammad Hatta, mungkin yang dimaksud adalah “koperasi,” yang sesungguhnya diadopsi pula oleh Hatta. (Mungkin bisa dibaca dalam bukunya “Mengayuh Diantara Dua Karang”)

Jika tak ada mekanisme ekonomi pasar bagaimana akan ada sebuah kompetisi? Padahal kompetisi ini lah yang disyaratkan (salah satunya), oleh sistem ekonomi pasar sosial.

No comments:

Post a Comment