Wednesday, February 16, 2011

Hantu di Kamera


Seberkas bayangan putih melambai-lambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Hani melepaskan kembali kameranya untuk memastikan kejadian tadi.

Dua tahun lalu, ketika kami akan pergi ke suatu tempat…
“Anak-anak, kalian harus menyelesaikan tugas ini akhir minggu nanti. Apabila ada yang tidak mengumpulkannya, nilainya akan Ibu minuskan. Silakan, bagi kelompok kalian masing-masing” suara Ibu Diah terdengar nyaring ke seluruh kelas.
Hari ini merupakan jam Ibu Diah untuk mengajar, tepatnya mengajar Sejarah. Dan kali itu, kami diberi tugas yang lumayan berat. Menganalisa pahlawan daerah yang telah berjasa bagi daerah kami.
Akhirnya kelompok pun di bagi-bagi menjadi beberapa orang. Di antaranya Tami, Hani, Lia, dan aku menjadi bagian dari kelompok mereka. Lia dipilih menjadi ketua kelompok, karena ia mengetahui medan yang akan kami tempuh. Dan Hani menjadi juru kamera.
Aneh memang, namun ini adalah tugas. Kalau bukan tugas yang diberikan guru killer itu, aku pun tidak mau ke daerah tersebut. Apalagi, ketika aku tahu bahwa kami akan ke sebuah gunung tempat dimakamkannya pahlawan tersebut.
“Gunung, kenapa mesti ke gunung? Aku kan capek!” keluh Hani, yang memasang tampang cemberut. Mungkin, dalam hati, masing-masing dongkol sama sikap Hani yang manja itu. Maklumlah, ia tidak pernah pergi jauh-jauh. Mungkin tempat paling jauh yang pernah ia kunjungi adalah sekolahnya sendiri.
“Udah deh, jangan manja gitu, nggak terlalu jauh kok. Apalagi di sana banyak orang dagang,” ungkap Lia, yang sudah pernah menjajal gunung tua itu. Aku sengaja merahasiakan nama gunung itu, karena aku takut.
Akhirnya Hani luluh juga, mungkin hanya dia yang agak keberatan untuk mengobservasi ke daerah itu.

Namun, apa mau dikata, jika tidak ada jalan keluar lain lagi, Hani mesti turut serta. Karena, kalau ia tidak ikut, namanya tidak akan tercantum dan dicoret dengan segera.
Pagi-pagi sekali kami sudah mempersiapkan segalanya. Tas yang lumayan penuh makanan, obat-obatan, dan alat tulis untuk mencatat. Tidak lupa kami membawa kamera untuk lampiran foto dalam makalah kami.
Sebenarnya gunung itu tidak terlalu terjal, dan juga tidak terlalu jauh dari kota kami. Mungkin hanya beberapa kilometer. Dalam perjalanan, kami lebih banyak bercanda dan tertawa riang. Padahal ada sesuatu yang menunggu di sana….
Gunung itu sebenarnya merupakan kawasan wisata di kota kami, keberadannya menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kebanyakan mereka menjual makanan dan minuman, ada juga yang menjual beberapa bunga untuk dijadikan sesajen.
Hani mulai menjepret ke sana-kemari. Ia memang lihai dalam hal ini. Hani bercita-cita menjadi seorang fotografer profesional. Kami menahan tawa saat mendengar apa yang dikatakannya. Hani, Hani... anak manja seperti kamu apa bisa?
Menuju puncak gunung itu membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Banyak sekali memang kendala yang kami temukan di sana. Tami kehilangan dompetnya, kemudian aku yang tersandung hingga lututku lecet. Lia mendadak sakit perut, sedang Hani hanya selalu mengeluh kecapekan. Namun, pada akhirnya kami sampai juga di puncak gunung itu.
Terlihat sebuah bangunan tua di puncak gunung itu, mungkin usianya sudah ratusan tahun, seperti yang kami pelajari di Sejarah. Di samping bangunan tua tersebut terdapat makam yang disebut-sebut sebagai makam pahlawan yang kami teliti.

“Han, foto yang di sebelah situ!” titah Lia kepada Hani sembari menunjuk salah satu makam yang terlihat sangat bersih. Hani pun mengangguk cepat, ia mulai mendekati makam yang ditunjuk oleh Lia.
Dipasangkan matanya pada lensa kamera, kemudian mencari-cari posisi yang tepat untuk membidiknya. Tiba-tiba, Hani seperti keheranan dan tidak jadi memotretnya, kami ikut-ikutan heran melihatnya.
Ia menggaruk-garuk rambutnya perlahan, kemudian nada suaranya menjadi berubah. “Eh, kalian lihat ada orang enggak di sana?” tanyanya aneh. Kami tidak mengerti, apa yang ia tanyakan.
“Kamu enggak lihat, di sini kan hanya ada kami,” jawab Lia agak marah kepada Hani. “Ini bukan waktunya untuk bercanda dan manjadi anak yang manja,” pikirnya. Lia masih terlihat dongkol melihat Hani.
Hani terlihat sangat aneh, ia seperti melihat sesuatu, namun banyak ketidakjelasan yang ia ungkapkan, karena Hani hanya terdiam. Ia mencoba lagi, menempelkan matanya pada kamera miliknya itu. Lagi-lagi ia melihat sesuatu.
Seberkas bayangan putih melambai-lambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Hani melepaskan kembali kameranya untuk memastikan kejadian tadi. Ternyata… bayangan seseorang itu sudah tidak ada lagi! Hani semakin bingung, ia tidak tahan untuk keluar dari sana.
“Kalian… kalian enggak melihat apa-apa di sana. Aku, aku melihat sesuatu,” sambil terbata-bata ia merangkai kalimat itu. Kami semua terdiam sesaat. Yang kami pikirkan itu hanya candaan Hani yang manja. Namun, bulu kudukku merinding seketika itu juga, entah mengapa aku pun merasakan sesuatu di sana.
“Aku enggak melihat apa-apa. Kamu jangan bercanda dong, Han!” pinta Lia kepada Hani untuk menghentikan gurauannya itu.

Tubuh Hani terlihat gemetaran, seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan di sana. Namun, kami tidak melihat apa-apa di sana. Ada apa dengan Hani?
“Kalau kalian enggak percaya, coba deh kalian lihat!” pintanya pada kami dengan memberikan kamera miliknya yang diberi oleh ayahnya ketika usianya tepat tujuh belas tahun.
Refleks saja aku menyambar kameranya dan menempelkannya pada mataku yang besar. Dan aku, aku tidak melihat apa-apa. Tidak ada sesuatu yang aneh, sekali lagi kukucek-kucek mataku untuk meyakinkan kembali. Ternyata memang tidak ada apa-apa yang mencurigakan.
“Enggak ada apa-apa tuh,” aku kemudian memberikan kamera pada Lia untuk gantian ia yang melihatnya. Dan reaksinya pun hampir sama, kami berdua tidak melihat apa-apa di sana. Mungkin Hani merasa bosan di sana, supaya kami semua hengkang dengan segera dari tempat itu.
Hani kali ini tidak dapat diandalkan lagi, tangannya gemetaran. Ia bahkan tak kuasa memegang kamera miliknya sendiri karena hampir saja kamera itu terjatuh. Tubuhnya menggigil kedinginan, padahal cuaca saat itu cukup panas.
“Kamu kenapa sih, Han, kok aneh banget?” tanyaku padanya sambil merapikan letak rambutnya yang tidak beraturan. Ia seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi bibirnya seperti terkunci rapat.
Hani memang teman kami yang paling manja dan kekanak-kanakan, karena itu aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Namun, kali ini aku harus percaya. Wajah Hani tidak terlihat sedang bercanda, apalagi bermanja dengan kami, wajahnya menyimpan guratan ketakutan. Akhirnya, kami memilih untuk pergi sesegera mungkin dari tempat itu.
Setelah kejadian itu, Hani menjadi lebih pendiam.

Ia jarang atau bahkan tidak pernah tertawa riang dan penuh manja kepada kami. Aku pun mulai khawatir dengan keadaannya. Aku mulai berpikir bahwa ini ada hubungannya dengan peristiwa kemarin.
Aku sedikit melupakan peristiwa itu akhir-akhir ini. Kami sibuk menyelesaikan tugas yang seminggu lalu diberikan. Aku kebagian mencetak foto yang telah kami bidik kemarin. Tiba-tiba saja aku terperanjat kaget, membuatku shock berat. Foto itu, ada seseorang di foto itu. Aku menatapnya sekali lagi, kuingat-ingat kejadian waktu itu. Bukankah hasil cetakan ini aku yang memotretnya? Dan tidak ada siapa-siapa di sana ketika aku memotretnya. Ada apa ini?
Aku segera menemui mereka, menunjukkan foto yang telah dicuci cetak itu. Mereka hanya ternganga tidak percaya, mengucek-ngucek mata untuk meyakinkan sekali lagi.
Hani bereaksi dengan cepat menanggapi foto tersebut. “Ini, bayangan ini yang aku lihat kemarin. Benar, aku melihatnya melambai-lambaikan tangannya padaku, seperti ingin menuntunku ke suatu tempat. Ini buktinya, tapi kalian tidak percaya” ungkapnya panjang lebar sambil menunjuk ke bayangan tersebut.
Aku sekarang yang terdiam. Bukankah itu hasil jepretanku dan aku tidak melihat sesuatu pun ketika itu? Kami berempat hanya menyeringai tak karuan menyaksikan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh kami.
Tubuhku kini gantian terasa kaku dan sangat menggigil, takut. Aku memandang Hani, yang juga gemetaran. Karena, hanya kami berdua yang merasa dihantui kejadian ini
Aku mulai berpikir macam-macam. Jangan-jangan itu gambar penghuni gunung yang dikeramatkan, atau bisa jadi kamera itu yang bermasalah. Memang banyak kemungkinan, sampai-sampai aku menjadi semakin penasaran.

Dan aku tidak akan mengingat kejadian itu, kami segera membuang foto itu dan merobeknya menjadi beberapa bagian. Aku tidak ingin memikirkan kejadian itu lagi. Cukup sudah peristiwa ganjil tersebut membuat kami waswas, membuat kami selalu ketakutan. Kami pun sepakat untuk melupakan semua yang telah terjadi. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi dalam hari-hari kami, terutama aku dan Hani.
Satu tahun yang lalu…
Acara perpisahan kelas berlangsung hari ini. Kami semua bahagia walaupun kami akan segera berpisah untuk melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Aku dan ketiga sahabatku yang lain sangat bersedih, karena kami mungkin tidak dapat bersama-sama lagi seperti dahulu.
Hari ini acara perpisahan sangat meriah, banyak murid yang datang walaupun untuk sekedar berfoto-foto bersama. Dan hari itu hari yang tidak akan terlupakan, karena kejadian ganjil itu terulang kembali.
“Siap ya! Satu…dua…tiga…!” Kilauan cahaya kamera tertuju pada kami berempat. “Ini adalah kenang-kenangan yang tidak akan terlupakan,” pikirku. Mereka pun pasti berpikir seperti itu.
“Ga…gambarnya kenapa? Kok …” Hani tidak dapat meneruskan kata-katanya. Sesosok bayangan putih itu hadir kembali sembali melambaikan tangannya. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, kejadian satu tahun tersebut kini terulang kembali.
Hani akhirnya ingat sekarang, ia memakai kamera yang sama sewaktu kejadian di puncak gunung setahun yang lalu. Kamera itu terpaksa ia pakai lagi, karena kamera Hani yang lainnya dipinjam oleh Nia, adiknya.
Ia pun menyadari, ada ketidakberesan pada kameranya. Kamera yang sudah lama diberi oleh papanya itu. Dan kami berempat akhirnya juga sadar, kamera tersebur berhantu. Sejak saat itu Hani berjanji, tidak akan memakai kamera aneh itu lagi.

1 comment:

  1. Kita harus percaya pada kehidupan di alam lain, karena kita tidak hanya hidup sendiri di dunia ini..
    melainkan banyak dunia yang mungkin belum kita ketahui.. jangan takut, tapi itulah kenyataan nya dan kita harus mempercayai keberadaan nya..

    ReplyDelete